blank

Pulau Kecil Layak Lestari, Refleksi Penerapan UU PWP3K di Raja Ampat

Organisasi lingkungan Greenpeace melakukan aksi damai dalam gelaran Indonesia Critical Minerals Conference di Jakarta, pada Selasa (3/6/2025). Aksi menyoroti praktik pertambangan di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat Daya. Pulau Gag menjadi salah satu kawasan yang dikenal sebagai surga keanekaragaman hayati laut dunia.

Viralnya aksi damai Greenpeace kembali mengangkat pertanyaan penting bagi publik, yaitu bagaimana seharusnya regulasi mengatur pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti Pulau Gag?

Landasan Hukum: UU No. 1 Tahun 2014 tentang PWP3K

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki regulasi khusus untuk melindungi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), yang merupakan perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007.

Dalam Pasal 1 Ayat 3, disebutkan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km² beserta kesatuan ekosistemnya. Dengan luas sekitar 60 km², Pulau Gag termasuk dalam kategori ini. UU ini mengamanatkan agar pulau-pulau kecil dikelola secara berkelanjutan, dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan keanekaragaman hayatinya.

Pemanfaatannya diarahkan untuk kegiatan yang ramah lingkungan seperti ekowisata, konservasi laut, dan pendidikan maritim. Seperti yang ditegaskan dalam Pasal 23 Ayat 2, pemanfaatan pulau kecil diprioritaskan untuk konservasi, penelitian, pelatihan, serta perikanan dan pertanian berkelanjutan.

Keadilan Ekologis dan Peran Masyarakat Adat

Selain itu, UU PWP3K juga memperkuat hak masyarakat adat dan lokal dalam mengelola sumber daya berbasis prinsip keberlanjutan. Dalam Pasal 20, 21, 22, dan 60, dinyatakan bahwa masyarakat hukum adat memiliki hak khusus dalam pengelolaan wilayah pesisir.

Bahkan dalam bagian Penjelasan Umum, ditegaskan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya.Artinya, UU PWP3K tidak hanya mengatur soal larangan atau perizinan, tetapi lebih dari itu, menekankan keberlanjutan ekosistem dan keadilan ekologis bagi masyarakat lokal.

Alternatif Pemanfaatan Lestari Pulau Kecil di Raja Ampat

Di Raja Ampat, masyarakat adat telah sejak lama menerapkan praktik konservasi melalui ‘Sasi Laut’, sebuah tradisi lokal yang menetapkan larangan mengambil hasil laut pada wilayah tertentu dalam jangka waktu tertentu. Tradisi ini dijalankan secara kolektif dan bertujuan menjaga keberlangsungan ekosistem laut.

Laporan Mongabay Indonesia pada (26/8/2022) menunjukkan bahwa populasi ikan karang meningkat dua kali lipat dalam lima tahun terakhir, dan kawasan konservasi di sana menerima lebih dari 1.500 penyelam per bulan. Ekowisata dan pengelolaan homestay yang dilakukan masyarakat lokal ikut mendorong peningkatan kesejahteraan warga.

Selain Sasi Laut yang berbasis kearifan lokal, Raja Ampat juga mengembangkan berbagai pendekatan pemanfaatan wilayah pesisir yang lestari dan melibatkan masyarakat secara aktif. Salah satunya adalah pengembangan ekowisata berbasis masyarakat melalui jaringan homestay yang dikelola lokal. Inisiatif ini memperkuat ekonomi desa, menjaga budaya lokal, sekaligus melindungi ekosistem.

Berdasarkan Laporan dari BIMP-EAGA Facilitation Center yang terbit pada (13/5/2025), program seperti WISE Trips turut mendorong pariwisata rendah karbon dengan mempromosikan transportasi ramah lingkungan, pengelolaan limbah, hingga penyajian makanan lokal. Dampaknya, nilai ekonomi dari ekosistem laut Raja Ampat mencapai sekitar Rp182 miliar per tahun, menjadikan sektor ini pilar ekonomi utama masyarakat pesisir.

Di sisi lain, praktik perikanan berkelanjutan juga tumbuh melalui skema Hak Pengelolaan Wilayah Perikanan (TURF) dan budidaya rumput laut yang ramah lingkungan. Sebagaimana dilansir dari laman resmi Rare (rare.org), program ini tidak hanya menjaga stok ikan, tetapi juga melibatkan perempuan dan masyarakat adat dalam manajemen sumber daya. Selain itu, sistem Kawasan Konservasi Perairan (KKP) menjadi fondasi tata kelola laut di Raja Ampat.

Rekomendasi Kebijakan untuk Masa Depan Pulau Kecil

Melihat masalah di Pulau Gag dan besarnya potensi model pemanfaatan lestari yang telah berjalan di Raja Ampat, Pemerintah perlu menegaskan implementasi UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), khususnya Pasal 23 Ayat 2 yang memprioritaskan pemanfaatan non-ekstraktif di pulau kecil.

Ini mencakup penetapan zona tanpa tambang (no-go zones) di wilayah sensitif seperti Pulau Gag, serta penguatan koordinasi antar lembaga, transparansi perizinan, dan penegakan hukum lingkungan. Di saat yang sama, dukungan terhadap ekowisata berbasis komunitas masyarakat adat, budidaya rumput laut berkelanjutan, perikanan berbasis hak kelola (TURF), dan revitalisasi tradisi Sasi Laut harus diperkuat sebagai fondasi ekonomi ramah lingkungan dan berkelanjutan di wilayah pesisir.

Model konservasi berbasis kearifan lokal seperti yang diterapkan di Raja Ampat sendiri telah membuktikan bahwa ekologi dan ekonomi dapat berjalan beriringan. Pendekatan ini sejalan dengan amanat UU PWP3K yang menekankan keberlanjutan ekosistem dan keseimbangan sosial sebagai dasar pengelolaan pulau-pulau kecil.

Oleh karena itu, Pulau Gag dan kawasan serupa seharusnya tidak dijadikan wilayah pertambangan, melainkan dikelola secara lestari, partisipatif, dan berkeadilan. Karena menjaga wilayah pesisir bukan hanya soal melindungi alam, tetapi juga tentang menjaga kehidupan dan masa depan masyarakat yang menggantungkan hidupnya di sana.