Suryakanta News – Sejumlah wilayah di Jabodetabek dilanda banjir sejak akhir pekan lalu, menyebabkan ratusan wilayah pemukiman terendam, ribuan warga mengungsi, dan dilaporkan jatuhnya korban jiwa. Ironisnya, bencana banjir ini terjadi di tengah periode yang seharusnya memasuki musim kemarau.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta mencatat, hingga Minggu (6/7/2025) pukul 16.00 WIB, terdapat 53 Rukun Tetangga (RT) yang terdampak banjir di lima wilayah kota administrasi Jakarta, dengan ketinggian air bervariasi mulai dari 60 sentimeter hingga mencapai 3 meter di beberapa titik.
Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, menjelaskan banjir ini disebabkan oleh tingginya curah hujan di wilayah hulu, ditambah kiriman air dari Bogor yang menyebabkan luapan Sungai Ciliwung dan sejumlah aliran sungai lainnya.
“Pemprov DKI bersama pihak terkait terus berupaya melakukan penanganan banjir secepat mungkin, mulai dari penyedotan genangan, evakuasi warga terdampak, hingga pendirian posko darurat di titik rawan,” ujar Pramono dalamsiaran pers resmi, Minggu (6/7/2025).
Sementara itu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memaparkan bahwa anomali cuaca menjadi penyebab utama terjadinya hujan lebat di musim kemarau. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, fenomena melemahnya Monsun Australia yang berasosiasi dengan musim kemarau turut membuat suhu muka laut di selatan Indonesia tetap hangat, sehingga memicu peningkatan curah hujan.
“Anomali curah hujan sudah terjadi sejak Mei 2025 dan diperkirakan terus berlangsung hingga Oktober mendatang,” jelas Dwikorita dalamkonferensi pers virtual bertajukPerkembangan Cuaca dan Iklim, Senin (7/7/2025).
BMKG juga mengimbau masyarakat untuk mewaspadai potensi cuaca ekstrem di sejumlah wilayah, terutama di Pulau Jawa bagian barat dan tengah dalam sepekan ke depan.
Di sisi lain, organisasi lingkungan Greenpeace Indonesia menyoroti banjir yang terjadi di Jabodetabek sebagai dampak nyata dari krisis iklim. Melaluipernyataan resmi yang diunggah di akun resmi media sosialnya, Greenpeace menegaskan bahwa perubahan iklim telah memicu cuaca ekstrem, termasuk curah hujan intens yang tidak sesuai dengan pola musim normal.
“Harusnya sekarang musim kemarau, bukan musim banjir! Krisis iklim telah membuat cuaca kita berubah dan dalam jangka panjang, bencana seperti ini sayangnya akan lebih sering terjadi,” tulis Greenpeace.
Greenpeace juga menyinggung bahwa fenomena ini diperparah oleh ketergantungan terhadap energi fosil, pertambangan batubara, dan kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada masyarakat terdampak maupun kelangsungan hidup jangka panjang.
“Pemakaian bahan bakar fosil, pertambangan batubara, dan pencemaran udara tidak dihentikan. Ini adalah hasil dari kebijakan yang timpang, tidak memihak rakyat yang paling rentan terdampak bencana,” lanjut pernyataan Greenpeace.
Hingga berita ini diturunkan, BPBD DKI Jakarta dan instansi terkait masih terus melakukan penanganan banjir serta memantau perkembangan cuaca ekstrem yang diprediksi masih akan berlangsung di wilayah Jabodetabek dan sekitarnya.