Suryakanta News – Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS 2025 yang digelar diMuseum of Modern Art (MAM), Rio de Janeiro, Brasil, Minggu (6/7/2025). Kehadiran ini menjadi debut resmi Indonesia dalam forum negara-negara berkembang tersebut, sekaligus langkah strategis Prabowo dalam percaturan geopolitik global.
KTT yang mengusung tema “Strengthening Global South Cooperation for More Inclusive and Sustainable Governance” ini dihadiri oleh para pemimpin BRICS, yakni Brasil, Rusia, India, Cina, Afrika Selatan, serta anggota baru seperti Indonesia, Mesir, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.
Dalampernyataan resminya, Prabowo menegaskan bahwa keikutsertaan Indonesia di BRICS bukan bentuk keberpihakan geopolitik tertentu.
“Ini adalah bagian dari diplomasi bebas-aktif Indonesia. Kita hadir untuk memperkuat kerja sama negara-negara berkembang, bukan untuk sikap anti-Barat,” ujar Prabowo, sebagaimana tertuang dalamsiaran pers Sekretariat Presiden, Senin (7/7/2025).
Presiden turut didampingi sejumlah pejabat tinggi, di antaranya Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya, Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono, dan Wakil Menteri Luar Negeri Arrmanatha Nasir.
Airlangga Hartarto menambahkan bahwa Indonesia mendorong penguatan multilateralisme dan kerja sama ekonomi global, termasuk optimalisasi peranNew Development Bank (NDB) milik BRICS.
“Pemanfaatan NDB sangat penting untuk mendukung pembangunan negara-negara berkembang,” kata Airlangga sebagaimana dalamsiaran pers tersebut.
Meski demikian, keikutsertaan Indonesia di BRICS menuai catatan kritis dari kalangan akademisi. Dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga,Radityo Dharmaputra, melalui artikelnya diThe Conversation yang bertajuk “Risiko kedekatan Prabowo dengan BRICS: Reputasi bebas-aktif Indonesia dipertaruhkan” pada Senin (7/7/2025), menilai keputusan Indonesia bergabung dengan BRICS berpotensi memicu mispersepsi di tengah ketegangan geopolitik global.
Ia menyoroti dua risiko utama, yaitu risiko reputasi dan miskalkulasi geopolitik. “Kehadiran Indonesia di BRICS, di tengah ketegangan dengan poros Barat, bisa dianggap legitimasi terhadap kekuatan revisionis seperti Rusia, Cina, dan Iran,” tulis Radityo dalamartikel tersebut.
Radityo juga menyinggung ketidakhadiran Prabowo dalam forum G7 di Kanada dan kunjungan ke Rusia untuk bertemu Presiden Vladimir Putin, yang menurutnya memperkuat persepsi Indonesia condong ke poros Rusia-Cina.
Selain itu, ia menyoroti pernyataan bersama BRICS 2025 yang mengutuk serangan Ukraina ke wilayah Rusia, tanpa menyentuh isu invasi Rusia, sebagai indikasi potensi Indonesia menjadi alat kepentingan geopolitik negara besar lainnya.
Untuk meminimalisir risiko, Radityo menyarankan agar Indonesia menegaskan komitmen terhadap prinsip bebas-aktif, memperjuangkan isu global seperti perubahan iklim dan keadilan sosial, serta berani mengkritik pelanggaran yang dilakukan sesama anggota BRICS.
“Indonesia harus kembali menyerahkan perumusan kebijakan luar negeri kepada para diplomat berpengalaman di Kementerian Luar Negeri. Jangan sampai Indonesia hanya menjadi ‘useful idiot’ atau pion politik bagi negara lain,” pungkasnya.
Hingga saat ini, Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara Asia Tenggara yang bergabung dengan BRICS, di tengah dinamika dunia yang kian multipolar.