Kesehatan Mental, Mental Health

Kesehatan Mental Harus Jadi Isu Publik? Ini Alasan Pentingnya

Kesehatan mental kini mendapat perhatian publik yang lebih besar, terutama sejak pandemi Covid-19. Berbagai istilah, seperti overthinking, burnout, dan gangguan kecemasan, semakin sering diperbincangkan, baik di media sosial maupun forum diskusi.

Namun, diskursus tentang kesehatan mental sering tertahan pada level individual, dengan solusi yang biasanya berupa self-healing, meditasi, atau liburan sejenak. Padahal, tekanan mental tidak hanya dipicu faktor pribadi, melainkan juga dipengaruhi oleh lingkungan eksternal, termasuk kebijakan publik.

Survei Jakpat (2022) mengungkap bahwa 59,1 persen Gen Z di Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental, tertinggi dibanding generasi lain. Faktor utamanya antara lain tekanan akademik dan pekerjaan.

Hasil survei juga menunjukan sekitar 50 persen orang stres akibat ketidakpastian prospek karier. Selain itu, 74 persen melaporkan pernah mengambil cuti karena tekanan mental.

Banyak dari mereka beralih ke tren seperti self-diagnose, self-healing, dan terapi digital yang meski membantu, seringkali hanya mengobati gejala, bukan akar masalah sistemik. Ini menegaskan bahwa isu kesehatan mental lebih luas dari sekadar pengalaman individual.

Kesehatan Mental Karena Isu Sosial

Banyak yang belum menyadari bahwa keresahan mental yang dialami generasi muda tidak lahir dalam ruang hampa. Berbagai tekanan psikologis cenderung berakar pada lingkungan sosial yang dihadapi setiap hari.

Bahkan, kebijakan publik secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi kesejahteraan mental. Karena itulah, penting untuk memahami bahwa kesehatan mental bukan sekadar isu personal, tetapi juga cerminan dari bagaimana kebijakan publik berjalan.

  1. Pendidikan Mahal Memicu Tekanan pada Mahasiswa

Gerakan Nasional Pendidikan (GNP) pada Desember 2023 mencatat 74,22 persen mahasiswa yang kesulitan membayar UKT mengalami masalah fisik dan mental, bahkan beberapa di antaranya melaporkan keinginan untuk bunuh diri.

Ade Herdian Putra mencatat 39,2 persen mahasiswa mengalami stres berat karena beban akademik dan prestasi. Ketika akses pendidikan tinggi tidak dijamin, tekanan yang dirasakan menjadi isu publik.

  1. Ketidakpastian Kerja dan Upah Minim

Survei Deloitte (2025) menunjukkan 50 persen Gen Z merasa stres karena ketidakpastian karier, dan 74 persen pernah mengambil cuti karena tekanan mental, menunjukkan realitas kerja yang eksploitatif telah menjadi beban struktural bagi kesehatan mental. 

  1. Ruang Publik yang Tidak Ramah

Polusi udara, area padat, dan tingginya tingkat kriminalitas, termasuk kekerasan seksual di ruang publik dapat memicu gangguan kecemasan. Meski problem ini ada, dampaknya terhadap kesehatan mental sering diabaikan dalam kebijakan kota maupun daerah.

  1. Layanan Kesehatan Mental yang Terbatas

Hanya 38–55 persen Puskesmas di Indonesia memiliki layanan kesehatan jiwa aktif. Kemenkes menargetkan peningkatan menjadi 50 persen pada 2025 dan 70 persen pada 2026.

Namun, layanan tersebut umumnya hanya dasar dan belum lengkap. Rasio psikiater masih sangat rendah, yaitu 1 per 200.000 penduduk, jauh dari standar WHO (1:30.000). Ini menunjukkan bahwa dukungan sistemik masih jauh dari memadai.

  1. Ruang Aman Psikis yang Tidak Ada di Kebijakan Daerah

Hingga kini, belum ada kota atau kabupaten yang memiliki regulasi resmi mengenai ‘ruang aman psikis’ atau mekanisme perlindungan psikologis di lingkungan kerja dan pendidikan mengisyaratkan bahwa prioritas struktural untuk kesehatan mental masih rendah.

Mengapa Kesehatan Mental Harus Menjadi Prioritas Publik?

Kesehatan mental adalah hak dasar, bukan hak istimewa. Direktur Jenderal HAM Dhahana Putra menegaskan kesehatan mental bukan hanya persoalan medis, tetapi juga hak asasi manusia.

Negara berkewajiban menyediakan layanan konseling mudah diakses, ruang aman di sekolah dan kantor, serta kebijakan yang mendukung kehidupan sehat secara mental.

Pendekatan ini sejalan dengan panduan WHO yang mendorong reformasi kebijakan berorientasi hak asasi, contohnya seperti penguatan organisasi layanan, pembangunan tenaga kerja, serta intervensi berbasis komunitas untuk menciptakan sistem kesehatan mental yang inklusif dan holistik.

Pakar dari Bloomberg Center juga menekankan bahwa kesehatan mental harus diintegrasikan ke dalam setiap kebijakan public dari ekonomi hingga pendidikan dan keadilan untuk menciptakan masyarakat yang tangguh dan inklusif.

Tanpa intervensi struktural, masalah kesehatan mental akan menjadi bom waktu sosial, memperburuk ketimpangan, menurunkan produktivitas, dan terjadi beban ekonomi besar di masa depan.

Kesadaran publik tentang kesehatan mental, terutama di kalangan Gen Z adalah langkah awal yang penting. Namun, gerakan ini harus berkembang menjadi agenda kolektif.

Kesehatan mental harus diintegrasikan ke dalam kebijakan publik, bukan hanya sebagai tanggung jawab individu. Merawat diri penting, tetapi membentuk sistem sosial yang manusiawi dan ramah mental jauh lebih mendasar.