Pendidikan bagi anak dengan disabilitas masih menjadi sorotan publik. Pasalnya, tidak semua anak difabel dapat bersekolah dengan layak. Terdapat ketimpangan dalam memperoleh hak atas pendidikan antara disabilitas dan nondisabilitas.
Laporan BPS, tahun 2024 sebanyak 17,85 persen penyandang disabilitas berusia lebih dari 5 tahun tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Sedangkan, dari kelompok nondisabilitas sebanyak 5,04 persen tidak sekolah.
Menurut analisis UNICEF (2023), anak-anak difabel di Indonesia masih menghadapi ketidaksetaraan dalam beberapa aspek kesejahteraan, termasuk pendidikan, kesehatan, dan inklusi sosial. Padahal, saat itu telah terdapat 32 ribu sekolah inklusif.
Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbud Ristek pada 2025 menyampaikan telah terdapat lebih dari 40 ribu sekolah inklusi di Indonesia. Tujuannya, agar pemerintah semakin mudah dalam menjangkau anak-anak berkebutuhan khusus.
Sekolah inklusi diperkenalkan pertama kali di Indonesia pada tahun 1998. Semula, hanya terdapat Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk bersekolah bagi anak difabel. Kini, pendidikan bagi anak difabel di Indonesia dapat dijangkau melalui SLB dan sekolah inklusi.
Apa Bedanya SLB dan Sekolah Inklusi?
Sekolah inklusi mengakomodasi setiap anak dalam mendapatkan pendidikan. Di sekolah inklusi tidak hanya terdapat anak difabel, tetapi setiap anak yang ingin belajar di sana. Sementa itu, SLB khusus bagi anak difabel.
Jika dilihat dari aktivitas kesehariannya, di sekolah inklusi setiap anak dapat belajar bersama, termasuk dalam penggunaan fasilitas sekolahan. Sedangkan di SLB, kelas dipisahkan berdasarkan ragam disabilitas siswa.
Begitu pula dengan kurikulumnya, sekolah inklusi menggunakan kurikulum nasional yang disesuaikan bagi anak difabel. Di sana, siswa diajarkan untuk saling menghormati, menghargai, dan tolong-menolong.
Kurikulum di SLB, dikemas dengan tujuan mengasah bakat dan potensi masing-masing siswa. Sehingga, siswa SLB dapat secara lebih fokus belajar dan berlatih dalam mencapai potensi utama siswa.
Kondisi Guru bagi Pendidikan Anak Difabel
Indonesia memang telah merancang konsep pendidikan formal bagi anak-anak difabel. Namun, implementasinya diiringi dengan berbagai tantangan. Ketersediaan guru yang berkapasitas masih menjadi kekhawatiran hingga kini.
Dikutip dari Kompas, berdasarkan Data Pokok Pendidikan per Mei 2023, di Indonesia hanya terdapat 4.695 guru pendamping khusus, dan 10.244 guru reguler yang dilatih mendampingi penyandang disabilitas.
Bukan sekadar jumlah personilnya, suatu sekolah inklusif dan SLB juga membutuhkan guru yang memiliki kompetensi dan keterampilan khusus dalam mendampingi anak-anak difabel.
Kriteria Guru Pendamping Anak Difabel
Walaupun utamanya seorang guru pendamping khusus harus memiliki empati dan menghargai keberagaman, guru pendamping khusus juga dituntut memiliki ilmu dan kompetensi khusus agar pekerjaannya berjalan dengan efektif dan tepat.
Seorang guru pendamping khusus setidaknya pernah bersekolah atau mendapatkan pelatihan dalam pendampingan anak difabel. Sehingga, guru dapat merancang dan mengimplementasikan rencana pembelajaran dengan tepat.
Guru anak difabel harus memahami berbagai jenis disabilitas, sampai dengan mengetahui hambatan dan dampak dari adanya pembelajaran yang akan dilakukan. Guru menjadi faktor penting dalam memberikan dukungan dalam ranah pendidikan formal.
Guna mendukung peningkatan inklusivitas dalam sektor pendidikan anak-anak difabel, pelatihan guru pendamping banyak digelar di berbagai tempat. Pelatihan diselenggarakan bukan hanya oleh pemerintah, tetapi juga universitas dan lembaga nonprofit.