Data Kemiskinan, Kemiskinan Indonesia

Reformulasi Data dan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia

Perbedaan statistik dari Badan Pusat Statistik Nasional dengan Bank Dunia dalam laporan “Macro Poverty Outlook” di April 2025, terkait dengan jumlah penduduk miskin yang ada di Indonesia memicu diskusi dan pertanyaan apakah selama ini perhitungan yang sudah dilakukan oleh negara tepat? Data mana yang benar-benar mencerminkan kondisi riil di masyararakat, dan bagaimana dampaknya terhadap pembuatan kebijakan publik dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan di Indonesia? Apakah perbedaan data ini menjadi hambatan terselubung karena persoalan data yang tidak komprehensif dan tepat sehingga kebijakan yang diambil juga tidak tepat sasaran? Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah Indonesia dalam persoalan data kemiskinan di Indonesia?

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh BPS Indonesia, penduduk Indonesia yang berada di garis kemiskinan berada di tingkat 8,57 persen, sementara itu berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh World Bank dengan menggunakan (purchasing power parity/PPP), persentase penduduk Indonesia di garis kemiskinan berada di tingkat 60,3 persen.

Ukuran yang Berbeda, Masalah yang Sama

Dalam pernyataan pers pada awal Mei 2025, BPS menyampaikan bahwa angka kemiskinan yang dihitung oleh BPS adalah kemiskinan absolut yang dihitung berdasarkan pengeluaran minimal untuk memenuhi kebutuhan dasar yang terdiri dari dua komponen, yakni konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari dan makanan lainnya, serta nonmakanan yang mencakup tempat tinggal, pendidikaan, kesehatan, serta pakaian dan lainnya. Dalam perhitungan data kemiskinan di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia menggunakan metode Cost of Basic Needs (CBN) untuk menghitung jumlah uang minimum yang dibutuhkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok.

Sementara itu, Bank Dunia juga menghitung kemiskinan berdasarkan kebutuhan dasar namun disesuaikan dengan kelompok pendapatan negara dan menggunakan paritas daya beli untuk menyetarakan harga barang dan jasa lintas negara. Bank Dunia menggunakan metode International Comparison Program (ICP) untuk membandingkan daya beli penduduk lintas negara.

Dengan membagi tingkat kemiskinan ke dalam tiga kelompok, yakni negara miskin, negara berpendapatan menengah ke bawah (lower middle-income countries/LMIC), dan negara berpendapatan menengah atas (upper middle-income countries/UMIC), Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan berturut-turut 2,15 dolar AS PPP, 3,65 dolar AS PPP, dan 6,85 dollar AS PPP. Berdasarkan parameter ini, tingkat kemiskinan Indonesia berdasarkan 2,15 dolar AS PPP sebesar 1,3 persen, berdasarkan LMIC sebesar 15,6 persen, dan berdasarkan UMIC sebesar 60,3 persen.

Dalam proses pembuatan kebijakan publik, data menjadi sangat penting untuk mengambil suatu keputusan. Kebijakan publik berbasis data menjadi sangat krusial dalam menyelesaikan persoalan di masyarakat berbasis data empiris. Kebijakan publik berbasis data (evidence-based policymaking) akan mengurangi bias politik, preferensi, serta kepentingan bisnis dan memberikan landasan yang lebih objektif.

Data sebagai Fondasi Kebijakan

Kemiskinan di Indonesia menjadi salah satu isu yang dibawa dalam setiap kampanye baik pemerintah nasional maupun daerah. Namun, isu ini hanya terbatas persoalan yang akan dibawa setiap kampanye tanpa adanya kebijakan yang konkrit dari pemerintah pusat dan daerah.

Kebijakan untuk pengentasan kemiskinan harus dimulai dari pengetahuan secara holistik dan riil terhadap persoalan yang sedang ingin diselesaikan, termasuk dalam persoalan kemiskinan. Data yang komprehensif dan riil harus menjadi landasan dalam membuat kebijakan. Seringkali kebijakan nasional tidak didasarkan pada data yang holistik dan komprehensif sehingga program-program yang disusun tidak tepat sasaran ataupun hanya sebatas jargon saja tanpa menjawab kondisi riil di tengah masyarakat.

Perbedaan data ini menjadi sangat penting dalam merefleksikan kebijakan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah Indonesia apakah sudah berhasil atau tidak. Lebih jauh, alih-alih dipandang sebagai saling berkontradiksi, perbedaan data antara pemerintah Indonesia dengan Bank Dunia sudah seharusnya menjadi data pembanding bagi pemerintah Indonesia dalam menyusun program pengentasan kemiskinan yang lebih luas.

Hal yang sama juga telah disampaikan oleh Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, yang mengatakan bahwa data Bank Dunia dan pemerintah Indonesia tidak saling bertentangan. Amalia menyampaikan lebih lanjut bahwa data yang dikelola oleh pemerintah Indonesia dengan yang dikelola oleh Bank Dunia memiliki tujuan dan maksud yang berbeda.

Akurasi Data untuk Kebijakan yang Lebih Tepat

Menaikkan garis kemiskinan adalah satu langkah penting yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Walaupun saat ini pemerintah Indonesia telah memberikan berbagai bantuan kepada kelompok masyarakat yang berada di garis kemiskinan dan kelompok rentan miskin, meningkatkan parameter kemiskinan di Indonesia memberikan jangkauan yang lebih luas dan terarah serta tepat sasaran bagi pemerintah Indonesia untuk mengidentifikasi kelompok masyarakat yang membutuhkan.

Digunakan sejak 1998, metode CBN sudah seharusnya diperbaharui agar relevan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Misalnya saja, garis kemiskinan BPS dihitung berdasarkan kebutuhan dasar berupa asupan minimal 2.100 kilokalori. Namun, komponen makanan 2.100 kilokalori ini perlu disesuaikan dengan komponen terbaru yang sudah disusun oleh Kementerian Kesehatan dengan batas atas mencapai 2.200 kilokalori. Menurut Stehl et al. (2025) data kalkulasi dengan CBN perlu diperbaharui karena perkembangan dunia saat ini dengan yang sebelumnya sangat berbeda dimana dulu masyarakat pada umumnya masih mementingkan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup dasar dan pada saat ini masih banyak terdapat data kelaparan terselubung yang tidak bisa ditangkap dengan perhitungan berdasarkan metode CBN.

Namun, dalam praktiknya tentu dibutuhkan kemauan secara politik karena meningkatkan parameter perhitungan data kemiskinan yang kemudian serta-merta menambah persentase jumlah penduduk yang masuk dalam garis kemiskinan membawa dampak politik bagi pemerintahan Prabowo-Gibran. Peningkatan persentase kemiskinan karena perubahan metode perhitungan akan memberikan kesan seolah-olah pemerintahan saat ini tidak bekerja dan malah menambah penduduk yang masuk dalam kategori miskin.

Hal ini mengingatkan penulis pada kalimat yang ada pada buku Daren Acemoglu tentang kemiskinan dan politik dalam buku “Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty, yakni negara yang miskin adalah negara yang dimana orang-orang yang berkuasa membuat pilihan untuk menciptakan kemiskinan.

Mereka bukan melakukan kesalahan ataupun bentuk dari ketidakpedulian, namun secara intensional menciptakannya (“poor countries are poor because those who have power make choices that create poverty. They get it wrong, not by mistake or ignorance but on purpose”). Persoalan data kemiskinan adalah politis dan dibutuhkan kemauan dari pemerintah Indonesia untuk memformulasikan perhitungan data untuk dapat merumuskan program-program pengentasan kemiskinan yang tepat sasaran.