Hukum bisnis, hukum perseroan

Doktrin Hukum dalam Perseroan: Pengertian, Macam, dan Contoh

Pengertian doktrin hukum dalam perseroan membawa kita ke dalam konsep hukum yang bersifat dinamis dan mengikuti perkembangan zaman. Doktrin hukum adalah pendapat dari para ahli hukum terkemuka yg menjadi rujukan hakim.

Tak luput dari hal tersebut, suatu perseroan terdapat doktrin-doktrin hukum yang membuatnya menjadi badan hukum yang ideal. Adapun Perseroan Terbatas (PT) yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal.

Didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) serta peraturan pelaksanaannya.

Berikut macam-macam doktrin hukum dalam perseroan:

Piercing the Corporate Veil (PCV)

Piercing the Corporate Veil merupakan suatu doktrin yang membuat pengecualian terhadap suatu prinsip umum, dimana tanggung jawab pengurus perusahaan dibatasi pada jumlah andil yang dapat menyimpang dengan cara melaksanakan tanggung jawab pengurus perusahaan yang tidak lagi terbatas.

Pasal 3 ayat (1) UU PT menyatakan: “Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimilikinya.”

Akan tetapi Pasal 3 ayat (2) UU PT membuka ruang pertanggungjawaban pemegang saham melebihi saham yang disetor apabila: 

  1. persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi,
  2. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi,
  3. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan, atas
  4. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utangnya.

Dalam hal ini, ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) tidak berlaku secara mutlak dengan adanya ketentuan Pasal 3 ayat (2) yang menganut doktrin Piercing The Corporate Veil, sehingga dalam hal-hal sebagaimana disebut di atas tanggung jawab terbatas itu dapat diterobos.

Fiduciary Duty

Fiduciaryberasal dari kata ‘fiducia’ yang artinya kepercayaan, dan duty yang artinya tugas. Berdasarkan pendapat Munir Fuady, Direksi berdasarkan prinsip Fiduciary Duty wajib melaksanakan tugasnya dengan: itikad baik (good faith); memenuhi unsur tujuan yang layak (proper of purpose); kebebasan yang penuh tanggung jawab; dan tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of duty and interest).

Jenis fiduciary duty dibagi menjadi dua, yaitu:

  1. Duty of Care, Direksi diharuskan untuk bertindak dengan kehati-hatian dalam membuat segala keputusan dan kebijakan perseroan.
  2. Duty of Loyalty, Direksi bertanggung jawab untuk selalu berpihak kepada kepentingan perusahaan yang dipimpinnya, kepentingan pemegang saham, kepentingan dan tujuan perseroan, serta bertindak dengan mengutamakan kepentingan perseroan diatas kepentingan pribadi.

Fiduciary Duty dalam UU No. 40 Tahun 2007, yakni:

  1. Pasal 97 Ayat 3 UUPT: Direksi yang bertanggung jawab penuh secara pribadi bilamana kerugian tersebut disebabkan oleh kelalaian dalam hal menjalankan tugas dalam mengurus perseroan.
  2. Pasal 97 Ayat 4 UUPT: bilamana Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab tersebut berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 97 UU No. 40 Tahun 2007, Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan, sebagaimana pengurusannya wajib dilaksanakan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.

Self-Dealing Transaction

Menurut Munir Fuady, self-dealing transaction merupakan transaksi antara direksi dengan perseroan itu sendiri, yang dalam sejarah hukum semula dilarang by definition, kemudian dalam perkembangannya mulai dipilah-pilah untuk dinilai mana yang dilarang dan mana yang diperbolehkan oleh sektor hukum.

Kriteria yuridis self-dealing transaction dibagi menjadi dua, yaitu:

  1. Kriteria Klasik: Kriteria klasik ini yang menyamaratakan bahwa semua self-dealing transaction tersebut diasumsikan mengandung risiko bagi perseroan dan/atau peseronya.
  2. Kriteria Modern: Kriteria ini menyatakan bahwa suatu self-dealing transaction dapat dibenarkan dengan tidak menyamaratakan semua bentuk self-dealing transaction (memilah-milah secara case by case).

Corporate Opportunity

Corporate Opportunity merupakan suatu doktrin yang mengajarkan bahwa seorang Direktur, komisaris, atau pegawai Perseroan lainnya, ataupun pemegang saham utama tidak diperkenankan mengambil kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi manakala tindakan yang dilakukannya tersebut sebenarnya merupakan perbuatan yang semestinya dilakukan oleh Perseroan dalam menjalankan bisnisnya itu.

Dalam teori hukum Perseroan, dilarangnya Direksi atau pejabat perusahaan lainnya untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan mengambil kesempatan yang sebenarnya tergolong kedalam Corporate Opportunity, larangan tersebut didasari atas berbagai doktrin hukum Perseroan, antara lain: 

  1. Fiduciary Duty dari Direksi
  2. Conflict of interest
  3. Penyalahgunaan rahasia dagang (trade secret)
  4. Penyalahgunaan daftar pelanggan
  5. Ikut campur secara melawan hukum (wrongful interference) terhadap hubungan kontraktual
  6. Kompetisi secara tidak fair
  7. Bertentangan dengan etika bisnis

Terkait penerapannya dalam kasus, doktrin Corporate Opportunity biasanya tidak berdiri sendiri. Doktrin ini akan berdampingan dengan doktrin-doktrin yang lain. Karena itu, jika terhadap suatu kasus misalnya tidak terbukti adanya Corporate Opportunity, mungkin sekali tindakan Direksi tersebut masih dapat dijerat dengan doktrin hukum yang lain.

Business Judgment Rule

Business judgment rule merupakan salah satu doktrin yang ada dalam hukum perusahaan yang memberikan perlindungan terhadap direksi perusahaan untuk tidak bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dari suatu konsekuensi apabila tindakan direksi didasarkan pada itikad baik dan sifat hati-hati.

Business judgment rule sebenarnya mengenai pembagian tanggung jawab di antara perseroan dan organ yang mengurusnya, terutama direksi, dan pemegang saham manakala terjadi kerugian yang menimpa perseroan yang diakibatkan oleh kesalahan manusia.

Syarat yang harus dipenuhi direksi agar dapat mengimplementasikan business judgment rule adalah:

  1. putusan sesuai dengan hukum yang berlaku
  2. dilakukan dengan itikad baik
  3. dilakukan dengan tujuan yang benar (proper purpose)
  4. putusan tersebut mempunyai dasar-dasar yang rasional (rational basis)
  5. dilakukan dengan kehati-hatian (due care) seperti dilakukan oleh orang yang cukup hati-hati pada posisi yang serupa
  6. dilakukan dengan cara yang layak dipercayainya (reasonable belief) sebagai yang terbaik (best interest) bagi perseroan

Business Judgement Rule dalam UU No. 40 Tahun 2007 terdapat dalam Pasal 97 ayat (5), Pasal 69 ayat (4), dan pasal 104 ayat (4).

Ultra Vires dan Intra Vires

Doktrin ultra vires menganggap batal demi hukum (null and void) atas setiap tindakan organ PT di luar kekuasaannya berdasarkan tujuan PT yang termuat dalam anggaran dasar. Dalam ilmu hukum, ultra vires berarti tindakan yang dilakukan oleh suatu badan hukum (PT) yang berada di luar tujuan dan karena itu di luar kewenangan dari badan hukum tersebut.

Apabila suatu tindakan dilakukan dengan landasan hukum yang tepat, maka tindakan tersebut merupakan tindakan intra vires (di dalam kuasa). Namun, jika tindakan tersebut dilakukan tanpa adanya landasan hukum, maka tindakan itu adalah tindakan ultra vires. Dengan kata lain, tindakan intra vires dianggap sah, sementara tindakan ultra vires dinyatakan tidak sah.

Ultra vires dalam UU No. 40 Tahun 2007 terdapat dalam Pasal Pasal 2 jo. Pasal 18, Pasal 15, Pasal 9, Pasal 16 ayat (1) huruf d, Pasal 21 ayat (2), Pasal 19, Pasal 88, Pasal 21 ayat (4), Pasal 74, Pasal 92 ayat (1) dan (2), Pasal 92 ayat (4), Pasal 108 ayat (2), dan Pasal 91.