Kekerasan seksual terhadap perempuan terus menjadi isu krusial dan mengalami lonjakan yang memprihatinkan di Indonesia. Pada Maret 2025, Komnas Perempuan menerbitkan Catatan Tahunan (Catahu) Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2024, yang mencatat lonjakan signifikan dalam jumlah kasus.
Sebanyak 445.502 kasus dilaporkan—meningkat 9,77% dibandingkan tahun sebelumnya. Khusus untuk kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBGTP), tercatat sebanyak 330.097 kasus, naik 14,17%. Dominasi kasus terjadi di ranah personal, dan bentuk kekerasan seksual menempati posisi teratas bersama kekerasan psikis dan fisik.
Sayangnya, di balik angka yang tinggi ini, masih banyak bentuk kekerasan seksual yang tidak disadari dan kerap diabaikan. Bentuk-bentuk ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari—di jalanan, kampus, tempat kerja, hingga media sosial—namun tidak selalu dianggap serius.
Apa itu Kekerasan Seksual yang Tidak Disadari?
Menurut laporan Satgas PPKS Universitas Teuku Umar (2024), kekerasan seksual yang tidak disadari mencakup tindakan atau ucapan yang berkaitan dengan seksualitas tanpa persetujuan. Contohnya adalah catcalling, komentar seksual yang tidak diinginkan, candaan berkonotasi seksual, hingga pelecehan verbal digital seperti chat atau komentar mesum di media sosial.
Ada juga bentuk-bentuk kekerasan non-fisik lainnya seperti isyarat tubuh yang mengandung konotasi seksual, tatapan berkepanjangan yang mengintimidasi, serta invasi ruang pribadi. Bentuk-bentuk ini tak melibatkan kontak fisik langsung, tetapi tetap menyebabkan ketidaknyamanan, rasa takut, bahkan trauma psikologis.
Tak jarang, perilaku seperti grooming, menyebarkan konten pribadi korban, hingga pemaksaan dalam penggunaan kontrasepsi diabaikan padahal jelas masuk kategori kekerasan seksual. Semua ini memperlihatkan bahwa kekerasan seksual lebih kompleks dari yang selama ini kita pahami.
Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual yang Kerap Tak Disadari
Berikut adalah beberapa contoh bentuk kekerasan seksual non-fisik yang sering tidak dikenali, tetapi sejatinya masuk kategori kekerasan:
Catcalling
Komentar atau siulan bernada seksual di jalan atau ruang publik. Misalnya: “Mbak cantik banget sih, senyumnya bikin gagal fokus.”
Komentar Seksual Tidak Diundang
Memberikan komentar tentang tubuh seseorang, pakaian, atau penampilan secara seksual tanpa diminta. Contoh: “Kamu kalau pakai baju ketat gitu bikin susah konsen, tahu nggak?”
Lelucon Seksual
Candaan yang bernuansa seksual, apalagi jika disampaikan di ruang publik atau grup pertemanan. Meskipun disebut “cuma bercanda,” dampaknya tetap bisa merendahkan dan mengintimidasi.
Isyarat atau Gerakan Tubuh Seksual
Misalnya menjilat bibir, mengedipkan mata, atau mengarahkan alat tubuh tertentu untuk menyampaikan pesan seksual secara non-verbal.
Tatapan Mengintimidasi
Memandang seseorang dengan intens dan bermakna seksual sehingga membuat korban merasa tidak nyaman atau takut.
Stalking Digital Bernuansa Seksual
Mengirim pesan seksual tanpa persetujuan di media sosial, menyimpan foto seseorang tanpa izin, atau memantau aktivitas mereka secara obsesif.
Apa Dampaknya bagi Korban?
Dampak psikologis dari kekerasan seksual non-fisik sangatlah nyata dan sering kali tersembunyi. Korban kerap mengalami penurunan harga diri, merasa malu, bahkan menyalahkan diri sendiri atas perlakuan yang mereka terima. Ruang-ruang publik yang seharusnya menjadi tempat aman untuk belajar, bekerja, atau bersosialisasi justru berubah menjadi ruang yang memicu kecemasan dan rasa terancam.
Korban bisa merasa tidak pantas berada di lingkungan sosial, menilai dirinya sebagai objek yang terus-menerus diawasi atau dihakimi. Tatapan menggoda, komentar bernada seksual, atau bahkan gestur yang tampak “mesra” namun tidak diinginkan, dapat meninggalkan bekas traumatis yang dalam.
Mengapa Kita Sering Diam?
Sering kali, kekerasan seksual non-fisik dibiarkan begitu saja karena telah lama dinormalisasi dalam budaya sehari-hari. Banyak orang tumbuh dalam lingkungan yang menganggap candaan bernuansa seksual atau sikap genit sebagai hal yang wajar, bahkan dipuji sebagai tanda kejantanan atau keluwesan sosial. Minimnya pemahaman tentang batas-batas kekerasan seksual turut memperparah keadaan—seksualitas masih menjadi topik yang tabu dibicarakan secara terbuka, baik di rumah, sekolah, maupun ruang publik.
Akibatnya, banyak yang tidak sadar bahwa perilaku tersebut termasuk dalam bentuk kekerasan. Di sisi lain, korban yang ingin bersuara seringkali terhambat oleh rasa takut: takut tidak dipercaya, takut dianggap berlebihan, atau bahkan disalahkan karena dianggap “baperan.” Diam akhirnya menjadi pilihan yang terasa paling aman, meski menyimpan luka yang dalam.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Yang bisa kita lakukan dalam menghadapi kekerasan seksual, terutama yang non-fisik, mencakup berbagai upaya yang dimulai dari diri sendiri hingga ke tingkat komunitas dan media. Pendidikan seksual komprehensif menjadi langkah awal yang sangat penting, karena melalui pemahaman mengenai batas pribadi, persetujuan, serta bentuk-bentuk kekerasan seksual, kita dapat membangun kesadaran sejak dini dan menciptakan ruang aman di lingkungan pendidikan.
Selain itu, penting untuk menyediakan layanan konseling, bantuan hukum, serta pelatihan-pelatihan yang berpihak pada korban dan peka gender, guna memperkuat sistem dukungan sosial. Di lingkup komunitas, kita bisa membentuk kelompok-kelompok berbasis solidaritas untuk memberikan pendampingan bagi korban dan menjadi ruang edukasi yang memberdayakan.
Tindakan sehari-hari pun tidak kalah penting, seperti berani menegur teman yang melakukan pelecehan verbal, mendengarkan korban tanpa menghakimi, menghentikan candaan seksual yang tidak pantas, dan tidak menyebarkan konten yang mempermalukan korban. Peran media juga krusial—media sosial, artikel, hingga reportase dapat digunakan untuk kampanye edukatif dan menyuarakan kisah korban sebagai bentuk solidaritas, sekaligus upaya menghentikan siklus kekerasan.
Maka dari itu, mengenal dan menyadari bentuk-bentuk kekerasan seksual yang sering diabaikan bukanlah pilihan, tetapi keharusan. Agar kita semua bisa lebih peka, berpihak, dan berani menciptakan ruang yang benar-benar aman bagi semua.