Upacara Peringatan ke-79 Hari Bhayangkara

Hari Bhayangkara ke-79 Diwarnai Seruan Reformasi Kepolisian

Suryakanta News – Upacara peringatan Hari Bhayangkara ke-79 yang digelar di Monumen Nasional (Monas), Jakarta, pada Selasa (1/7/2025), menjadi ajang refleksi atas peran dan tantangan kepolisian di Indonesia. Di tengah seremoni bertema ‘Polri untuk Masyarakat’, muncul sorotan tajam dari Koalisi Masyarakat Sipil terkait maraknya kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh aparat kepolisian.

Presiden RI Prabowo Subianto dalam pidatonya pada gelaran Upacara HUT Bhayangkara ke-79 di Monas menegaskan pentingnya reformasi Polri agar lebih dekat dengan rakyat.

“Indonesia memerlukan kepolisian yang tangguh, unggul, bersih, dan dicintai oleh rakyat. Kepolisian harus selalu berada di tengah-tengah rakyat, membela yang lemah, melindungi yang miskin, dan menolong mereka yang tertindas,” ujar Prabowo di hadapan jajaran Polri, termasuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan sejumlah tokoh nasional.

Kapolri Listyo Sigit dalam kesempatan yang sama mengingatkan jajarannya untuk tidak berpuas diri. Ia menyoroti tantangan ke depan yang semakin kompleks, mulai dari geopolitik, perubahan iklim, hingga disrupsi teknologi informasi. “Kepolisian dituntut terus belajar dan beradaptasi,” tegas Listyo.

Ketua DPR RI Puan Maharani yang turut hadir juga menekankan pentingnya transformasi Polri untuk lebih dekat dengan rakyat. Menurutnya, rasa aman warga menjadi tolok ukur keberhasilan Polri.

“Ketika petani, nelayan, buruh harian, atau ibu rumah tangga merasa nyaman mengadu ke kantor polisi tanpa rasa takut, saat itulah Polri telah benar-benar menjadi pelindung rakyat,” ungkap Puan melalui keterangan tertulis JDIH DPR RI yang dirilis pada Selasa (1/7/2025).

Namun, di balik seruan itu, Koalisi Masyarakat Sipil menilai Hari Bhayangkara seharusnya menjadi momentum refleksi, bukan sekadar seremoni. Melalui siaran pers yang diterbitkan KontraS pada Selasa (1/7/2025), mereka menyoroti pola kekerasan yang masih dilakukan aparat kepolisian terhadap masyarakat sipil.

Data KontraS mencatat, sepanjang Juli 2024 hingga Juni 2025, terjadi sedikitnya 602 peristiwa kekerasan oleh Polri, dengan penembakan sebagai bentuk paling dominan mencapai 411 kasus. Sumatera Utara tercatat sebagai provinsi dengan insiden tertinggi yakni 127 kasus. Kekerasan ini, menurut Koalisi, terjadi di berbagai tingkatan, mulai dari Polsek hingga Polda.

Tak hanya itu, terdapat pula 42 aksi pembubaran paksa unjuk rasa dan 46 penangkapan sewenang-wenang terhadap massa yang menyuarakan penolakan kebijakan pemerintah.

“Lebih dari 800 orang ditangkap, sebagian mengalami kekerasan fisik,” tulis Koalisi.

Laporan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan LBH juga menunjukkan 95 kasus kriminalisasi terhadap petani, buruh, jurnalis, dan mahasiswa sejak 2019. Dalam periode yang sama, terdapat 46 kasus penyiksaan dan 35 penembakan yang menewaskan 94 orang, sebagian besar terjadi di Papua, dalam penanganan kasus narkotika, dan saat protes kebijakan negara.

Aksi-aksi massa di Bandung sepanjang 2025, termasuk penolakan RUU Pilkada, RUU TNI, hingga demonstrasi May Day, diwarnai penangkapan tanpa prosedur, kekerasan fisik, serta perampasan barang pribadi. Sementara kasus kekerasan berbasis gender hingga pembungkaman suara warga, seperti penangkapan suporter Persikas Subang, belum ditangani secara tuntas.

Koalisi menilai, pola kekerasan ini bertentangan dengan prinsip hukum dan HAM, termasuk Perkap No. 8 Tahun 2009 dan instrumen internasional seperti Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

Atas situasi tersebut, mereka mengajukan sejumlah tuntutan, di antaranya penghentian penyidikan terhadap tujuh orang aktivis Bandung yang ditahan lebih dari 45 hari, evaluasi menyeluruh terhadap anggota Polri, serta penolakan terhadap revisi UU Polri yang dinilai berpotensi memperkuat impunitas dan melemahkan demokrasi.

“Jika reformasi struktural dan kultural tidak segera dilaksanakan, maka upaya pemberantasan kekerasan struktural di tubuh Polri hanya akan menjadi wacana sloganistik yang memperpanjang pelanggaran HAM,” tulis pernyataan Koalisi yang dikutip dari Siaran Pers KontraS pada Selasa (1/7/2025).

Peringatan Hari Bhayangkara ke-79 kali ini diwarnai dualitas, yakni di satu sisi seruan resmi tentang Polri yang humanis, di sisi lain desakan masyarakat sipil untuk mengakhiri pola kekerasan dan mewujudkan institusi kepolisian yang benar-benar melindungi seluruh lapisan rakyat.