Politik uang

Politik Uang, Salah Penyelenggara atau Masyarakat?

Indonesia sebagai negara yang menganut ideologi demokrasi telah membentuk beberapa lembaga untuk menjaga proses pesta demokrasi. Dari tujuan pembentukan lembaga tersebut, tentu peran dan fungsinya untuk melindungi kemurnian demokrasi, termasuk dalam Pemungutan Suara Ulang (PSU).

Namun, bagaimana jika beberapa lembaga justru rela ‘dibeli’ untuk memudahkan praktik politik uang? Hal yang tengah menjadi perhatian serius masyarakat sejak kejadian persiapan Pilpres 2024. Pasalnya, proses pencalonan sempat diwarnai dengan kritik adanya utak-atik konstitusi. Pada kesempatan yang lain, politik uang di tingkat penyelenggara nampak terjadi selama Pilkada 2024 sampai dengan pelaksanaan PSU di beberapa daerah.

Telah banyak diketahui pula, beberapa tahun belakangan ini, masyarakat  sedang dihadapkan oleh krisis ekonomi yang mengkhawatirkan secara individu maupun kelompok. Kondisi yang tentu berdampak pada penurunan kemampuan finansial masyarakat. Politik uang pun hadir sebagai sumber daya yang bisa mengakomodir kebutuhan sesaat masyarakat.

Padahal, ketika membicarakan pemilu sebagai pesta demokrasi, hasil pilihan tidak hanya dibutuhkan untuk mengakomodir kebutuhan sesaat masyarakat. Sebab, hasil keterpilihan kandidat akan terus dirasakan masyarakat selama lima tahun kepemimpinan.

Akar masalah politik uang memang memiliki beragam sudut pandang. Tak dapat dipungkiri, kerap terjadi kritik yang saling menyalahkan. Namun, jangan sampai benang kusut fenomena politik uang justru menjadi alasan kesulitan menghentikan praktik terlarang yang mencederai hati nurani itu.

Penting bagi jajaran pemangku kebijakan untuk melihat kembali peran dan fungsi lembaga pengawal demokrasi yang tengah banyak dinilai belum berani memusnahkan praktik politik uang. Pada saat yang bersamaan, pemerintah harus memiliki komitmen menyelesaikan isu keterpurukan ekonomi, yang banyak diyakini sebagai alasan utama masyarakat menerima amplop politik uang.