Pengadilan, Peradilan, Hukum, Kompetensi Pengadilan, Hukum di Indonesia

Kompetensi Pengadilan di Indonesia

Di Indonesia, kompetensi pengadilan dibagi menjadi dua, yaitu kompetensi absolut dan kompetensi relatif. Lalu apa perbedaan antara keduanya?

Jika dilihat dari perspektif pencari keadilan, kompetensi pengadilan mengacu pada jenis pengadilan dan pengadilan mana yang tepat untuk diajukan ketika seseorang ingin mengajukan gugatan.

Apa Perbedaan Peradilan dan Pengadilan?

Masyarakat umum sering merasa bingung dengan istilah peradilan dan pengadilan karena mereka kurang memahami perbedaan antara keduanya secara jelas. Padahal, keduanya memiliki arti yang berbeda.

Peradilan mengacu pada keseluruhan sistem hukum yang mencakup berbagai proses, tata cara, serta lembaga yang berperan dalam menyelesaikan sengketa dan menegakkan hukum.

Sedangkan pengadilan adalah lembaga atau institusi resmi tempat berlangsungnya proses peradilan. Dengan kata lain, dapat dipahami bahwa pengadilan berkaitan dengan lembaga dan lokasi, sedangkan peradilan mengacu pada keseluruhan sistem dan proses penegakan hukum.

Kompetensi Pengadilan di Indonesia

  1. Kompetensi Absolut

Pada intinya, kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan yang berkaitan dengan jenis perkara yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan kata lain, kompetensi absolut menentukan pengadilan mana antara pengadilan negeri, pengadilan agama, pengadilan militer, atau pengadilan tata usaha negara yang berhak untuk menangani suatu perkara tertentu.

Kompetensi absolut tidak dijelaskan secara rinci dalam aturan hukum acara perdata. Namun, secara tersirat, Pasal 134 HIR, Pasal 160 RBg, dan Pasal 132 Rv mengatur bahwa hakim berwenang untuk secara ex-officio menyatakan bahwa suatu perkara yang diajukan bukanlah wewenangnya, meskipun tidak ada keberatan yang diajukan mengenai kompetensi absolut tersebut

  1. Kompetensi Relatif

Kompetensi relatif adalah kewenangan pengadilan yang berkaitan dengan wilayah hukum tempat perkara tersebut ditangani. Singkatnya, kompetensi relatif menentukan pengadilan di daerah mana gugatan harus diajukan.

Kompetensi relatif secara umum diatur dalam Pasal 118 HIR, Pasal 142 RBg, dan Pasal 99 Rv, yang mengatur antara lain:

  1. Gugatan diajukan ke pengadilan yang menguasai wilayah hukum tempat tinggal Tergugat—jika tempat tinggal tidak diketahui, gugatan diajukan ke pengadilan di wilayah hukum tempat kediaman Tergugat.
  1. Jika ada lebih dari 1 (satu) Tergugat, maka penggugat dapat memilih untuk mengajukan gugatan ke pengadilan di wilayah hukum salah satu Tergugat (disebut juga sebagai Hak Opsi). Pengecualian terhadap Hak Opsi ini adalah jika terdapat perbedaan kedudukan di antara masing-masing Tergugat (Debitur – Penjamin), maka gugatan diajukan ke wilayah hukum pengadilan Debitur Pokok.
  1. Dalam kondisi tempat tinggal maupun tempat kediaman Tergugat tidak diketahui, gugatan diajukan ke wilayah hukum pengadilan Penggugat/salah satu dari Para Penggugat.
  1. Jika Penggugat dan Tergugat telah menyepakati suatu pilihan tempat tinggal dengan suatu akta, maka Penggugat dapat mengajukan gugatan kepada ketua Pengadilan di wilayah hukum tempat yang telah disepakati tersebut.
  1. Jika gugatan diajukan mengenai suatu barang tetap, maka gugatan diajukan ke Pengadilan di wilayah hukum barang tetap tersebut. Jika terdapat lebih dari 1 (satu) barang tetap yang berada di lebih dari 1 (satu) wilayah, Penggugat dapat memilih salah satu wilayah tempat barang tetap tersebut.

Memahami Tempat Kediaman/Domisili Tergugat dalam Kompetensi Relatif

Terkait dengan aturan domisili tergugat dapat merujuk pada ketentuan Bab III Buku Kesatu KUHPerdata, antara lain:

  1. Setiap orang dianggap bertempat tinggal di tempat yang dijadikan pusat kediamannya. Bila tidak ada tempat kediaman yang demikian, maka tempat kediaman yang sesungguhnya dianggap sebagai tempat tinggalnya.
  1. Perubahan tempat tinggal terjadi dengan pindah rumah secara nyata ke tempat lain disertai niat untuk menempatkan pusat kediamannya di sana.7 Niat itu dibuktikan dengan menyampaikan pernyataan kepada Kepala Pemerintahan, baik di tempat yang ditinggalkan, maupun di tempat tujuan pindah rumah kediaman. Bila tidak ada pernyataan, maka bukti tentang adanya niat itu harus disimpulkan dari keadaan-keadaannya.
  1. Mereka yang ditugaskan untuk menjalankan dinas umum, dianggap bertempat tinggal di tempat mereka melaksanakan dinas.
  1. Anak dan orang yang berada di bawah pengampuan berada di tempat tinggal orang tua/wali/pengampu.
  1. Buruh yang tinggal di rumah majikan berdomisili di rumah majikan.