kebijakan prabowo, kebijakan publik

Apakah Kebijakan Baru adalah Solusi?

Di awal masa kepemimpinannya, Presiden Prabowo Subianto menunjukkan gaya kepemimpinan yang agresif dan ambisius dalam menanggapi berbagai permasalahan nasional. Salah satu ciri menonjol dari periode awal pemerintahannya adalah derasnya arus kebijakan baru yang diinisiasi, mulai dari sektor pertahanan, pangan, hingga pendidikan. Namun, muncul satu pertanyaan mendasar yang patut kita renungkan bersama, apakah kebijakan baru selalu menjadi solusi?

Langkah Prabowo tampaknya lebih menekankan pada penciptaan terobosan-terobosan baru, alih-alih memperbaiki atau merevisi kebijakan lama yang belum berjalan optimal. Padahal, dalam banyak kasus, kebijakan publik bukan gagal karena desain awalnya keliru,melainkan karena buruknya implementasi, lemahnya pengawasan, atau rendahnya komitmen politik untuk menindaklanjuti.

Kecenderungan untuk terus memulai dari nol bisa berisiko. Setiap kebijakan baru membutuhkan waktu adaptasi, biaya sosial, dan tentu saja anggaran negara yang tidak sedikit. Di sisi lain, kebijakan yang belum selesai diuji efektivitasnya sudah tergantikan oleh gagasan baru. Ini bukan hanya menciptakan disorientasi di kalangan pelaksana teknis, tetapi juga membingungkan masyarakat sebagai penerima manfaat kebijakan.

Dalam konteks ini, kebaruan tidak selalu identik dengan solusi. Bahkan, bisa menjadi pengulangan kegagalan dengan format berbeda jika tidak disertai evaluasi menyeluruh terhadap apa yang telah dilakukan sebelumnya. Seolah-olah bangsa ini terlalu tergesa-gesa untuk meninggalkan masa lalu tanpa sempat belajar darinya.

Kepemimpinan yang visioner bukan hanya soal berani menciptakan sesuatu yang baru, tetapi juga cermat dalam membaca rekam jejak kebijakan yang sudah ada. Sering kali, perbaikan kecil pada sistem lama justru lebih berdampak dibanding membangun ulang dari awal. Memperkuat lembaga pelaksana, memperbaiki tata kelola, dan memastikan keberlanjutan program yang sudah dirintis sebelumnya adalah bentuk tanggung jawab lintas pemerintahan yang semestinya dijunjung tinggi.

Memang, tidak ada satu pun pemimpin yang ingin dikenal hanya sebagai penjaga status quo. Namun, reformasi bukan berarti harus selalu dimulai dari kertas kosong. Terlalu banyak ‘revolusi’ justru bisa membuat kebijakan publik kehilangan arah, tersandera wacana, dan tak pernah benar-benar sampai ke akar masalah.