Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebagai manifestasi konkrit demokrasi elektoral di tingkat lokal. Idealnya, menjadi ruang artikulasi kehendak rakyat terhadap kepemimpinan yang aspiratif dan akuntabel. Namun, dalam praktiknya, Pilkada kerap kali diwarnai berbagai problematika serius yang mengancam kualitas demokrasi, salah satunya berupa fenomena politik uang.
Politik uang telah menjadi persoalan struktural yang melekat dalam hampir setiap kontestasi elektoral di Indonesia. Tidak hanya terjadi dalam proses kampanye pemilu, tetapi juga semakin masif dalam momentum Pemungutan Suara Ulang (PSU). Padahal, PSU seharusnya menjadi koreksi terhadap proses pemilu yang cacat prosedur.
PSU Pilkada atau pilkada ulang seharusnya dilihat sebagai mekanisme konstitusional yang bertujuan menjaga integritas proses demokrasi. Namun, dalam pelaksanaannya, PSU seringkali menjadi ajang subur bagi praktik politik uang yang semakin masif dan terorganisir. Politik uang bukan hanya mencederai asas kejujuran dan keadilan dalam pemilu, tetapi juga memperlemah daya kritis masyarakat dan memperkuat oligarki lokal.
Politik uang pada masa PSU dinilai lebih berbahaya karena dilakukan dalam ruang yang lebih sempit dan terfokus. Memungkinkan kontrol dan pengaruh terhadap pemilih dilakukan dengan lebih intensif. Mobilisasi sumber daya ekonomi yang besar dari kandidat atau tim sukses menunjukkan bahwa demokrasi lokal masih rentan dibajak oleh kekuatan oligarki, yang menjadikan pemilu sebagai ajang investasi politik jangka panjang. Keadaan yang tidak hanya merusak integritas pemilu, tetapi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi.
Di sisi lain, lemahnya kesadaran kritis masyarakat serta keterbatasan kapasitas lembaga pengawasan pemilu dalam mendeteksi dan menindak politik uang semakin memperparah situasi. Bahkan, banyak dinilai penyelenggara kerap kali ikut ‘bermain’ dalam mempermulus praktik politik uang. Oleh karena itu, perlu ada inisiatif kolektif dari masyarakat sipil untuk memperkuat budaya demokrasi yang berintegritas, melalui edukasi politik, advokasi kebijakan, serta penguatan pengawasan partisipatif.