Negara Kemiskinan, Ilustrasi Kemiskinan

Negara Kemiskinan

Opini ini membicarakan fenomena yang integral dengan masyarakat, yakni kemiskinan dan bagaimana negara melalui kebijakan publiknya saat ini gagap merespon fenomena tersebut. Mengenai kemiskinan, cita-cita negara sejatinya sangat tegas, sebagaimana amanat Pasal 34 UUD 1945, bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar menjadi tanggung jawab negara dalam penghidupannya. Namun, bagai ungkapan jauh panggang dari api, pemerintah sebagai representasi negara tak benar-benar ‘berniat’ menghapus kemiskinan dari Bumi Pertiwi. 

Kemiskinan dari berbagai perspektif memiliki definisinya masing-masing. Hal tersebut memiliki konsekuensi dalam menentukan bagaimana kemiskinan bisa terjadi, atau bahkan sengaja diproduksi. Haughton & Khandker (2009) memaparkan definisi luas tentang kemiskinan yang mencakup bagaimana seseorang dapat berfungsi optimal di dalam lingkungan sosial masyarakat. Definisi tersebut merujuk pada hal yang multidimensional, diukur dari akses terhadap pendapatan, pendidikan, fasilitas kesehatan, kekuasaan, bahkan kemerdekaan politik yang dimilikinya.

Oleh karena itu, tulisan ini berposisi ingin membedah bagaimana kuasa negara seakan melanggengkan kemiskinan melalui tiga diskursus yang saling berkelindan, dalam bingkai kebijakan publik. Pertama, produksi pengetahuan oleh negara tentang kemiskinan yang mendasari kebijakan publik. Kedua, paradigma kebijakan publik anti-kemiskinan yang parsial. Ketiga, politisasi kemiskinan.

Pengetahuan Kemiskinan

Sejauh ini, negara memonopoli produksi pengetahuan tentang kemiskinan. Ironisnya, hal ini mendasari aneka kebijakan pemerintah yang dinilai tidak efektif. Pengetahuan ini sendiri dijadikan legitimasi kebijakan—mengenai siapa yang dapat dikategorikan sebagai miskin.

Perdebatan tentang standar garis kemiskinan menjadi kunci kotak pandora.  Walau garis imajiner matematis ini terkesan simplistik, tetapi powerfuluntuk melakukan pembingkaian terhadap fenomena kemiskinan. Tentu, masih hangat di pikiran publik mengenai perbedaan klaim antara Badan Pusat Statistik dan Bank Dunia tentang capaian kemiskinan di Indonesia tahun 2024. BPS mengklaim tingkat kemiskinan hanya di kisaran 8,57 persen dari total penduduk, berbanding jauh dari Bank Dunia yang mengklaim 60,3 persen penduduk Indonesia masuk kategori miskin.

Bank Dunia mendasari penghitungan untuk Indonesia berdasarkan kemampuan daya beli (purchasing power parity) dengan $6,85/kapita/hari untuk standar pengeluaran negara menengah ke atas (Bank Dunia, 2025). Sementara itu, BPS (2025) mengukur garis kemiskinan berbasis pemenuhan kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan, dengan rata-rata nasional minimal pengeluaran Rp595.242/kapita/bulan atau sekitar 20 ribu rupiah/kapita/hari. Perlu direfleksikan, apakah jumlah tersebut mencerminkan kondisi aktual untuk menilai standar hidup layak era modern?

Titik kritisnya, pengetahuan tersebut menjadi klaim keberhasilan oleh pemerintah menangani kemiskinan dan mengaburkan realitas yang kompleks di masyarakat. Gimik yang mempertontonkan kebungkaman dan denialism oleh pemerintah dalam memandang kemiskinan dengan objektif hanya akan menjauhkan agenda penanganan kemiskinan dari kebijakan publik yang efektif (Royce, 2019). Gimik tersebut hanya akan memperlemah evaluasi kebijakan dan skema bantuan berpotensi salah sasaran (Sayekti dalam Kontan, 2025). 

Paradigma Kebijakan Anti-Kemiskinan

Kebijakan nasional untuk mengatasi problem mendasar kemiskinan masih belum memiliki komitmen dan tolok ukur yang benar-benar kuat. Masalah kemiskinan masih dinilai dalam kacamata yang temporer dan jangka pendek, melewatkan pemahaman bahwa kemiskinan ialah masalah inter-generasi dan multidimensi. Apabila paradigmanya demikian, maka negara seakan hanya menempatkan dirinya sebatas sebagai sosok donatur, bukan perumus kebijakan yang sejatinya punya kuasa untuk memutus lingkaran kemiskinan. Paradigma kebijakan anti-kemiskinan hendaknya melampaui gimik-gimik tentang postur anggaran yang ‘seakan-akan’ menampilkan proporsi jumbo untuk program populis subsidi dan perlindungan sosial. 

Namun, bukan berarti bahwa kebijakan pro-poor melalui bantuan perlindungan sosial sudah tidak lagi diperlukan. Lebih dari itu, negara dapat lebih menunjukan kuasanya dengan menciptakan sistem yang lebih berpihak pada masyarakat yang memiliki keterbatasan benefit di struktur ekonomi kapitalistik-negara saat ini. Negara dapat lebih mengorkestrasi program yang berbasis pemberdayaan ekonomi kemasyarakatan dan afirmasi, didukung dengan penguatan data kesejahteraan yang akurat (Aranditio, 2024; Abhiyoso, 2024).

Selain dengan resep pengentasan kemiskinan dengan cara instan melalui bantuan sosial, tawaran obat mengatasi kemiskinan oleh negara juga simplistik dan tradisional: mengandalkan trickle-down effectdari investasi. Sayangnya, paradigma kebijakan tersebut kerap kali juga dengan sendirinya memiskinkan masyarakat secara multidimensi. Refleksikan lah tentang investasi di sektor ekstraktif yang merusak lingkungan dan memarginalisasi masyarakat adat dari ruang hidupnya. Maupun,  investasi negara di program/proyek strategis nasional (PSN) yang minim transparansi, tetapi sarat akan konflik kepentingan yang menguntungkan kroni-kroninya saja.

Politisasi Kemiskinan

Isu-isu terkait kemiskinan masih menjadi komoditas politik yang relatif mudah dikapitalisasi dalam spektrum politik kebijakan dan politik praktis. Kemiskinan dalam politik kebijakan dilihat sebagai indikator keberhasilan akhir tercapainya kesejahteraan melalui instrumen-instrumen programatik. Sementara itu, kemiskinan dalam kacamata politik praktis tak ayal hanya digunakan sebagai senjata penarik simpati publik melalui pendekatan yang populis. Melalui kacamata politik praktis, hubungan antara kemiskinan dan populisme justru saling menghidupi, bahkan tumbuh subur di konteks sosial Indonesia.

Populisme yang diperagakan oleh pemimpin bergaya populis seakan menjadi ‘oasis’ di tengah hausnya masyarakat mengidamkan pemimpin yang peduli terhadap kelompok miskin dan isu-isu ekonomi kerakyatan. Pemimpin populis memiliki kuasa untuk menarik atensi publik. Hal ini karena kharisma yang cenderung menciterakan ketulusan dan hadir di saat kondisi masyarakat memerlukan alternatif terhadap kondisi-kondisi ketidakmapanan, ditambah pembawaan politik yang mampu mengirimkan pesan-pesan keberpihakan (Garrido, 2017).

Namun, populisme yang tidak membawa solusi konkret terhadap kemiskinan hanya seperti ‘menggarami lautan’. Sebut saja, paket sembako bertuliskan  bantuan presiden/wakil presiden yang patut dikritisi karena esensi bantuan negara yang kental politisasi kepentingan dan niretika, melupakan bahwa hal tersebut memang sudah seharusnya menjadi kewajiban negara. Maupun, bentuk-bentuk program lain yang tidak punya solusi jangka panjang terhadap pengentasan kemiskinan (Putra, 2025).

Pada akhirnya, kebijakan publik pro-poordi Indonesia masih harus dikaji tolok ukur dan efektivitasnya. Kemiskinan tak sekadar angka-angka statistik. Namun, lebih dalam, merawat kesadaran bersama untuk mewaspadai gerak-gerik negara yang sengaja ‘melanggengkan’ kemiskinan sama pentingnya.