blank

Srawung Demokrasi #1 Merefleksi Praktik Berdemokrasi dalam Konklaf

Yogyakarta– Suryakanta Institute menggelar program unggulan Srawung Demokrasi edisi perdana, bertajuk Terpilihnya Paus Leo XIV dalam Pusaran Politik Global: Menyingkap Nilai Demokrasi Konklaf dan Kepemimpinan Selaras Zaman, di Kompleks UGM, Kamis (15/5).

Puluhan peserta dari kalangan akademisi dan masyarakat, mengikuti Srawung Demokrasi yang berlangsung sekitar tiga jam. Gelaran diskusi juga disiarkan secara langsung melalui kanal Youtube Suryakanta Institute yang dapat diikuti oleh masyarakat di luar Yogyakarta.

Dipandu oleh Handrianus, peneliti di Suryakanta Institute, Srawung Demokrasi menghadirkan narasumber Pater Adrianus Fani, SVD, seorang misionaris SVD Jepang, dan Agustinus Moruk Taek, Direktur Eksekutif Suryakanta Institute.

Sekalipun mengambil tema konklaf, diskusi bukan sekadar membidik sudut pandang keagamaan. Namun, dimaksudkan sebagai refleksi dalam hal proses intelektual untuk menemukan pemimpin publik yang berkualitas.

Konklaf diketahui menerapkan sistem demokrasi, di mana setiap kardinal berhak menyatakan pendapat dan pilihannya, mewakili suatu wilayah. Penerapan berdemokrasi dalam konklaf tentu tidak sama persis dengan di Indonesia, sehingga tidak untuk diperbandingkan, tetapi layak untuk menjadi refleksi.

“Kita coba melihat dari sisi demokratis di dalam konklaf. Namun, kita tidak sedang mengkomparasikan dengan konteks politik atau demokrasi di Indonesia,” ujar Handrianus dalam mengantarkan diskusi.

“Dinamika demokrasi di dalam konklaf, sebagai sistem yang bisa kita refleksikan. Bahwa konklaf ternyata berhasil menghadirkan pemimpin yang memang punya kualitas,” lanjutnya.

Hadrianus dalam paparannya juga menyampaikan sederetan nama Paus pendahulu beserta capaian kepemimpinannya. Paus Yohanes Paulus II, Paus Benediktus XVI, dan Paus Fransiskus diangkat sebagai potret tokoh pembaharu gereja dan dunia.

Gejolak perang ideologi komunisme dan liberalisme tidak membatalkan visi perjuangan Paus Yohanes Paulus II tentang martabat manusia. Bahkan kepemimpinannya berdampak positif pada revolusi Polandia dari kecaman komunisme.

Arus zaman kekinian ditandai dengan liberalisme dan sekularisme yang menghantui kehidupan iman gereja. Sang teolog konservatif, Paus Benediktus XVI mampu mempertahankan ajaran iman Katolik secara konsisten.

Dalam semangat solidaritas dan cinta kasih, Paus Fransiskus dan gereja universal membuka diri pada kaum lemah, miskin, dan terabaikan.

Direktur Suryakanta Institute, Agustinus, memberikan penekanan pada harapan atas terpilihnya Paus Leo XIV menjadi pemimpin dunia, bukan sekadar pemimpin gereja.

“Saat pidato pertamanya, saya menangkap dua kata kunci unik. Itu adalah perdamaian, dan jembatan, atau penghubung,’ ujar Agustinus.

“Pemilihan diksi jembatan atau penghubung, menyiratkan optimisme akan adanya kesadaran pemimpin umat terhadap pentingnya memberi pengaruh di luar lingkaran agamanya. Saya kira, Paus Leo XIV, tidak hanya pemimpin bagi umat Katolik, sebab terlihat kekuatan menjalin komunikasi politik dalam dirinya,” lanjutnya.

Robert Francis Prevost yang terpilih sebagai Paus dalam konklaf tahun 2025, untuk menggantikan kepemimpinan Paus Fransiskus. Menggunakan nama Paus Leo XIV, Prevost dinilai publik memiliki pengaruh kuat untuk membawa perubahan baik bagi dunia.